Apa itu personality?

Personality: Manusia yang Asli Bersembunyi di Balik Topeng

Dalam kebudayaan Yunani, dikenal istilah “persona” yang merujuk pada penutup muka yang digunakan oleh pemain teater. Dapat dikatakan pula, persona adalah topeng yang menggambarkan kedok para pemain sandiwara. Dalam peran yang mereka mainkan, mereka berpura-pura menjadi orang lain sesuai naskah sutradara. Di balik kepribadian asli yang mereka miliki, terdapat persona yang harus mereka tampilkan pada orang banyak.

Istilah persona kemudian diadaptasi menjadi personality atau kepribadian. Konsep awal kepribadian adalah tentang bagaimana cara seseorang tampil pada masyarakat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh lingkungan sosialnya. Pada awal mulanya, kepribadian dianggap sebagai proses menutup diri dengan topeng kepura-puraan. Hal ini senada dengan Hilgard dan Marquis (1961) yang menyatakan bahwa kepribadian adalah nilai stimulus sosial, kemampuan menampilkan diri secara mengesankan.

Lalu, bagaimana dengan kepribadian yang terdalam manusia?

Teori penetrasi sosial menganalogikan manusia layaknya sebuah bawang. Seperti yang kita ketahui, bahwa bawang terdiri dari beberapa lapisan, mulai dari yang terluar hingga yang paling dalam. Begitu pula dengan manusia, kepribadian terdiri dari beberapa layer atau lapisan.

Menurut West & Turner (2011), lapisan-lapisan tersebut di antaranya:

  • Pertama, lapisan public image. Lapisan ini adalah lapisan terluar yang bisa dijangkau oleh setiap orang yang berinteraksi dengannya. Contoh dari lapisan ini adalah biografi atau akun media sosial.
  • Kedua, lapisan resprositas. Lapisan ini memungkinkan orang lain untuk membuat kita lebih terbuka. Contoh topik pada lapisan ini ialah selera makanan, pakaian, musik, atau visi hidup.
  • Ketiga, lapisan keluasan. Pada lapisan ini, kita mulai sedikit menutup diri. Kita hanya ingin membicarakan topik-topik, seperti cara pandang, pandangan agama, atau kondisi finansial pada seseorang yang dianggap memiliki hubungan saja.
  • Keempat, lapisan kedalaman. Lapisan ini merujuk pada pembicaraan yang bersifat mendalam. Hal-hal tabu biasanya dibicarakan di lapisan ini. Tentunya, keberanian untuk mengeluarkan opini tabu hanya bisa tersalurkan oleh orang-orang yang dirasa dekat saja.

Semakin intim atau dekat hubungan seseorang, semakin mudah pula untuk membuka lapisan-lapisan komunikasi.

Teori lapisan kulit bawang di atas sejalan dengan sebuah pepatah tua Jepang. Pepatah ini kira-kira berbunyi sebagai berikut:

“Wajah pertama adalah wajah yang kamu tunjukkan pada dunia. Wajah kedua adalah wajah yang kamu tunjukkan pada teman dekat dan keluargamu. Wajah ketiga adalah wajah yang tidak pernah kamu tunjukkan pada siapa pun. Wajah itu merupakan refleksi sebenarnya dari dirimu”.

Ya, ungkapan ini kembali menunjukkan bahwa setiap saat kita menggunakan topeng. Dalam pepatah jepang tersebut, topeng ketiga bahkan tak pernah kita tunjukkan pada siapa pun. Semakin dalam wajahnya, maka semakin jujur pula kepribadiannya.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Dirimu yang sebenarnya adalah apa yang kamu lakukan di saat tiada orang lain melihatmu”.

Apakah memakai topeng itu hal yang wajar?

Tentunya, hal tersebut adalah hal yang wajar. Dalam Map of the Soul Jung, self atau diri terdiri dari inner world dan outer world. Pada lapisan paling luar dari diri manusia tentunya ada persona. Topeng ini menjadi salah satu lapisan terpenting. Pasalnya, di balik itu, ada shadow yang harus disembunyikan. Shadow merupakan sisi gelap dari manusia. Shadow menjadi kebalikan dari persona. Ketika dengan persona, kita berusaha untuk menyembunyikan shadow. Selain itu, ada animus atau anima, ego, dan self itu sendiri. Elemen-elemen dari kepribadian tersebut haruslah seimbang. Artinya, mau bagaimanapun, seseorang haruslah memiliki topeng untuk diakui oleh lingkungan sosial.